BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Yang dimaksud
dengan obat ialah semua zat baik kimiawi, hewani maupun nabati, yang dalam
dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit atau gejala
gejalanya. Obat yang pertama digunakan adalah obat yang berasal dari tanaman
yang dikenal dengan sebutan obat tradisional {jamu}. Obat-obat nabati ini
digunakan sebagai rebusan atau ekstrak dengan aktifitas yang sering kali
berbeda beda tergantung dari asal tanaman dan cara pembuatanya.
Hal ini di anggap
kurang memuaskan, maka lambat laun ahli ahli kimia mencoba mengisolasi zat-zat
aktif yang terkandung dalam tanaman, sehingga menghasilkan serangkain zat-zat
kimia sebagai obat misalnya : efekdrin dari tanaman ephedra vulgaris : atropine
dari atropa belladonna ; morfin dari papaver sommiferum: digoksin dari
digitalis lanata; reserpin dari rauwolfia serpintina: sedangkan viblastin
adalah obat kanker dari vinca rosea.
Pada
permulaan abat XX mulailah dibuat
sintetisnya, misalnya: asetosal disusul kemudian dengan sejumlah zat-zat
lainnya. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penuaan dan pengguan obat obat
kemoterapiutik sulfanilamit {1935} dan penisilin {1940} sejak tahun 1945 ilmu
kima, fisika dan kedokteran berkembang dengan pesat dan hal inimenguntungkan
sekali bagi penyelidikan yang sistematis dari obat-obatan baru.
Penemuan
penemuan baru menghasilkan lebih 500 macam obat seperti tahunnya, sehingga
obat-obat kuno makin terdesak oleh obat-obat baru. Kebanyakan obat obat yang
kini digunakan ditemukan sekitar 20 tahun yang lalu, sedangkan obat-obat kuno
ditinggalkan dan diganti dengan obat modern tersebut.
Ilmu yang mempelajari tentang obat-obatan adalah
FARMAKOLOGI. Berasal dari kata phaarnacon yang artinya obat atau racun dan
logos yang berarti ilmu atau pengetahuan. Secara umum farmakologi didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem biologi,
selain itu juga di pelajari asal usul obat, sifat fisika-kimia, cara pembuata,
efek biokimiawi dan fisiologi yang di timbulkan, nasib obat dalam tubuh, dan
kegunaan obat dalam terapi ( Priyaanto, 2010 ).
1.1 Tujuan
Berdasarkan
tujuan penulisan di atas penulis dapat menyimpulkan tujuan sebagai berikut :
1.
Mengetahui reseptor obat.
2.
Mengetahui mekanisme interaksi obat
dengan reseptor.
3.
Mengetahui mekanisme kerja atau efek
obat.
4.
Mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi.
1.2 Manfaat
Berdasarkan
tujuan penulisan di atas penulis dapat menyimpulkan manfaat sebagai berikut :
Secara Teori :
1.
Bagi
penulis dapat meningkatkan keterampilan dalam menyelesaikan makalah tentang
keperawatan dan mampu berfikir logis.
Secara
Praktis :
2.
Bagi
pembaca dapat mengetahui dan memahami mengenai konsep farmakodinamik.
BAB
II
TINJAUAN TEORI
1
Farmakodinamik
Farmakodinamika mempelaiari efek
obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme
kerjanya mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetan peristiwa serta spektrum
efek dan respon yang terjadi Per yang baik mengenai hal ini merupakan dasar
terapi berguna dalam sintesis obat baru. (Setyawati, Nur Falah,. 2015.)
2.2 Reseptor Obat
Struktur kimia
suatu obat berhubungan dengan afi-nitasnya terhadap reseptor dan aktivitas
intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan
stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya.
Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi
pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau
sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu,
molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk
sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons.
Reseptor obat
yang paling baik adalah protein regulator, yang meniembatani kerja dan
sinyal-sinyal bahan kimia endogen, seperti:
neurotransmitter,
autacoids, dan hormon. Kelompok reseptor ini menjembatani efek darí sebagian
besar agen terapeutik yang paling bermanfaat Kelompok protein lainnya yang
telah dikenal jelas sebagai reseptor obat juga termasuk enzim, yang mungkin
dihambat (atau, yang kurang umum, diaktifkan) dengan mengikat obat (misalnya
dihydrofolate reductase, reseptor untuk obat antikanker methotrexate), protein
pembawa/transport protein (misal-nya. Na-/ K+ ATPase, reseptor membran untuk
digitalis, glikosid yang aktif pada jantung) dan protein struktural (misalnya:
tubulin, reseptor untuk colchicine, agen anti-inflamasi).
Konsep reseptor
mempunyai konsekuensi yang
penting untuk perkembangan obat dan pengambilan keputusan terapeutik dalam
praktek klinik. Pada dasarnya reseptor menentukan hubungan kuantitatif antara
dosis atau konsentrasi obat dan efek farmakologi Afinitas reseptor untuk
mengikat obat menentukan konsentrasi obat
yang
diperlukan untuk membentuk kompleks obat-resep receptor complexes) dalam jumlah
yang berarti, dan jumlah ditim secara keseluruhan dapat membatasi efek maksimal
yang bulkan oleh obat.
Reseptor
bertanggung jawab pada selektivitas tindakan obat. Ukuran, bentuk dan muatan ion elektrik molekul
obat menentu bagaimana kecocokan atau kesesuaian molekul tersebut akan terika
pada reseptor tertentu diantara bermacam-macam tempat ikatan secara berbeda.
Oleh karena itu, perubahan struktur kimia obat secara mencolok dapat menaikan
atau menurunkan afinitas obat-obat baru terhadap golongan-golongan reseptor
yang berbeda, yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam efek terapi dan tok-
siknya. Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjanya terbatas pada satu jenis
reseptor, dan dikatakan selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah
dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum
tentu selektif tetapi obat yang tidak spesifik dangan sendirinya tidak
selektif.
Reseptor menjembatani
kerja antagonis farmakologi. Efek antagonis di dalam tubuh pasien bergantung
pada pencegahan pengikatan molekul agonis dan penghambatan kerja biologisnya.
Beberapa obat bermanfaat sebagai antagonis farmakologis dalam pengibatan
klinik. (Setyawati, Nur Falah,. 2015.)
Masih dikenal pula beberapa mekanime kerja lain tanpa
pengikatan pada respon yaitu :
1.
Secara
fisik, misalnya anestesi laksansia dan diuretik osmotik.
Obat ini
dianggap melarut dalam lapisan lemak dari membrane sel, yang karenanya berubah
sedemikian rupa sehingga transport normal dari oksigen dan zat zat gizi
terganggu, akibatnya hilangnya prasaan.
2.
Secara
kimiawi, misalnya antasida lambung.
Antasida ini
dapat mengikat asam lambung yang berkelebihan dengan reaksi netralisasi
kimiawi.
3.
Secara
kompetisi, yaitu dengan antagonisme saingan, misalnya pada , pemakain sulfa.
4.
Dengan
proses metabolism berbagai macam, misalnya antibiotika yang dapat mengganggu
pembentukan dinding sel
Dapat digambarekan mekanisme kerja obat dengan efek
nya dalam bagan berikut :
O
+ R OR EFEK
Dalam bagan diatas dapat terlihat bahwa yang dimaksud
dengan mekanisme kerja obet adalah akibat langsung penggabungan molekul obat
(O) dengan suatu reseptor (R).
Bila reseptor itu suatu enzim, maka hasilnya dapat
berupa penghambatan atau perangsangan enzim tersebut. Setelah kompleks
obat-reseptor (OR) terbentuk kemungkinan besar akan terjadi reaksi rantai lebih
lanjut, tetapi yang terlihat atau dapat diobservasi ialah timbulnya perubahan
fungsi organ tertentu. Perubahan yang dapat dilihat disebut efek obat.
2.5 Faktor Yang mengubah Repon Terhadap Obat
1.
Absorpsi
Berhubungan dengan penyerapan terhadap obat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
absorpsi obat antara lain:
a. Rute pemberian obat, memilıki
pengaruh yang berbeda pada absorpsi
obat, bergantung pada struktur fisik jaringa relatif tidak dapat ditembus zat
kimia, sehingga abs menjadi lambat. Membran mukosa dan saluran napas percepat
absorpsi akibat vaskularita mukosa dan permukaan kapiler alveolar. Karena obat yang berikan peroral harus melewati
sistem pencernaan untuk bsorpsi, kecepatan absorpsi secara keseluruhan melambat.
Injeksı intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat karena dengan rute
ini obat dengan cepat masuk kedalam sirkulasi sistemik.
b.Daya larut
obat, yang diberikan peroral setelah diingesti sangat bergantung pada bentuk
atau preparat obat tersebut Larutan dan suspensi, yang tersedia dalam bentuk
cair, lebih mudah diabsorpsi daripada tablet atau kapsul. Bentuk dosis padat
harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada sekresi lambung
dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan cepat. Obat yang
bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus.
c. Kondisi dijempat
absorpsi, mempengaruhi kemudahan obat masuk kedalam sirkulasi sistemik Adanya
edema pada membran
mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat membutuhkan waktu yang lama untuk
berdifusi kedalam pembuluh darah
d. Perfusi
jaringan, memengaruhi cepat lambatnya absorpsi obat. Absorpsi obat parenteral
yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam jaringan. Otot memiliki
suplai darah yang lebih banyak daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan
melalui intramuskuler (otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang
disuntikkan lewat subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat
lebih dipilih karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila
perfusi jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute
pemberian obat yang terbaık adalah melalui intravena. Pemberian obat intravena
menghasilkan absorpsi yang paling cepat
e. Kecepatan
dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Obat oral lebih mudah diabsorpsi,
jika diberikan diantara waktu makan. Misalnya zat besi dapat mengiritasi
saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan.
Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum,
sehingga absorpsi obat melambat. Beberapa makanan dan antasid membuat obat
berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan saluran cerna,
contoh susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat hancur
akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan.
2. Distribusi
Pengikatan
dengan protein merupakan pengubah utama dari distribusi obat dalam tubuh. Sawar
darah otak hanya dapat menerima obat-obatan yang larut dalam lemak. Plasenta
dapat ditembus oleh obat-obatan yang larut dalam lemak maupun air.
a. Metabolisme/biotransformasi
Berkaitan dengan fungsi hati dan ginjai metabolisme.
Kematangan dan ma! fungsi pada mempengaruhi metabolisme obat.
1)
Ekskresi
Rute
utama ekskresi obat adalah ginjal, selain itu e feses, paru-paru, saliva, dan
keringat juga merupa ekskresf obat.
2)
Usia
Bayi
dan lansia sensitif terhadap obat-obatan. Dosis bayi dihitung berdasarkan berat
badan dari pada usia biologis/gestasionalnya. Sejumlah perubahan fisiologis
yang menyertai penuaan memengaruhi respons terhadap terapi obat.
3)
Berat Badan
Dosis
obat diberikan sesuai dengan berat badannya. Ada hubungan langsung antara
jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan.
Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat darn komposisi tubuh dewasa.
Perubahan komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna,
misalnya pada klien lansia. Semakin kecil berat badan klien, semakin besar
konsentrasi obat di dalam jaringarn tubuhnya, dan efek obat yang dihasilkan
makin kuat.
4)
Toksisitas
Lebih
sering terjadi pada orang-orang yang mempunyai gangguan hati atau ginjal dan
pada orang yang muda dan tua.
5)
Farmakogenetik
Pengaruh
faktor genetik terhadap respon obat. Susunan genetik bolik dalam keluarga
seringkali sama, sehingga faktor mempengaruhi biotransformasi obat. Pola meta-
genetik menentukan apakah enzim yang terbentuk secara alami tersedia untuk
membantu penguraian obat. Aki- batnya suatu jenis obat tertentu
b.
Rute/cara pemberian
Rute parenteral memiliki efek kerja obat yang'lebih
cepat dari pada rute oral
1)
Saat/waktu pemberian
Ada
atau tidak adanya makanan di dalam lambung dapat mempengaruhi kerja beberapa
obat.
2)
Faktor emosional
Sugesti-sugesti
mengenai obat dan efek sampingnya dapat mempengaruhi efek obat terhadap klien.
3)
Adanya penyakit
Gangguan hati, ginjal, jantung, sirkulasi, dan
gastro- intestinal mempengaruhi respon terhadap obat.
4)
Riwayat obat
Penggunaan obat yang sama atau berbeda dapat
me- ngurangi atau menambah efek dari obat
5)
Toleransi
Kemampuan
kien untuk berespon terhadap dosis tertentu dari suatu obat dapat hilang
setelah beberapa hari atau minggu setelah pemberian. Kombinasi obat obatan
dapat diberikan untuk mengurangi atau menunda terjadinya toleransi obat.
6)
Efek penumpukan
Terjadi
jika obat dimetabolisme atau diekskresi lebih lambat dari pada kecepatan
pemberian obat
7)
Interaksi obat
Efek
kombinasi obat dapat lebih besar, sama, atau lemah dari pada efek tunggal.
Beberapa obat mungkin bersaing untuk menempati reseptor yang sama. Reaksi yang
merugikan dapat menyebabkan toksisitas atau kom- plikasi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Farmakodinamika
mempelaiari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta
mekanisme kerjanya mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek
obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetan peristiwa serta
spektrum efek dan respon yang terjadi Per yang baik mengenai hal ini merupakan
dasar terapi berguna dalam sintesis obat baru. (Setyawati, Nur Falah,. 2015.)
Reseptor
bertanggung jawab pada selektivitas tindakan obat. Ukuran, bentuk dan muatan ion elektrik molekul
obat menentu bagaimana kecocokan atau kesesuaian molekul tersebut akan terika
pada reseptor tertentu diantara bermacam-macam tempat ikatan secara berbeda. (Setyawati, Nur Falah,. 2015.)
Interaksi obat
adalah kerja atau efek obat yang berubah, atau mengalami modifikasi sebagai
akibat interaksi obat dengan reseptor, proses kerja obat, atau obat yang lain.
Interaksi ini dapat berbentuk saling menguatkan efek terapi dari obat atau
saling bertentangan dengan efek terapi.
(Setyawati, Nur Falah,. 2015.)
Dapat digambarekan mekanisme kerja obat dengan efek
nya dalam bagan berikut :
O
+ R OR EFEK
Dalam bagan diatas dapat terlihat bahwa yang dimaksud
dengan mekanisme kerja obet adalah akibat langsung penggabungan molekul obat
(O) dengan suatu reseptor (R).
3.2 Saran
1) Bagi Institusi Pendidikan
Sebaiknya pihak yang bersangkutan memberikan
pengarahan yang lebih mengenai konsep
farmakodinamik.
2) Bagi Mahasiswa
Mengenai makalah
yang kami buat, bila ada kesalahan maupun ketidak lengkapan
materi mengenai konsep farmakodinamik.Kami
mohon maaf, kamipun sadar bahwa makalah yang kami buat tidaklah sempurna. Oleh
karena itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Setyawati, Nur Falah,. 2015. Dasar-Dasar Farmakologi Keperawatan,
Yogyakarta.
Priyanto. 2010. Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi &
Keperawatan. Edisi II, Jakarta: Leskonfi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar